Manusia sangat akrab dengan garam. Namun suatu ketika garam bisa 'dimusuhi' habis-habisan. Seberapa banyak sebaiknya garam dikonsumsi setiap hari? "Ibarat sayur tanpa garam", hambar rasanya. Itulah pepatah yang sering digunakan dalam percakapan sehari-hari. Hidup yang tanpa variasi dan kreativitas, terasa hambar dan menjemukan. Sama halnya dengan masakan, tanpa garam mustahil sedap dan nikmat. Garam memang sesuatu yang penting dan harus ada di setiap rumah. Namum bila dikonsumsi secara berlebihan, dapat juga menimbulkan masalah. Tepatnya, garam dapat menjadi pemicu penyakit darah tinggi alias hipertensi.
Dr. Lewsi K Dahl, seorang peneliti dari New York mengingatkan, setiap orang hanya memerlukan sekitar 2 gram setiap hari atau ½ sendok teh. Tapi kenyataannya, konsumsi garam umumnya mencapai 5 sampai 6 gram per hari, bahkan lebih. Dua kali lipat lebih banyak dari jumlah yang dibutuhkan tubuh. Lewis juga menegaskan, banyak bukti menunjukkan bahwa garam menjadi faktor penting yang bertanggung jawab atas munculnya penyakit darah tinggi. Di Amerika Serikat, dari 10 juta penderita penyakit darah tinggi, setiap tahun 200.000 terenggut nyawanya akibat penyakit ini. Karena itu pula, sejak tahun 1970 para ahli mengkampanyekan hidup hemat tanpa garam.
Pabrik-pabrik makanan bayi menghentikan pemakaian garam untuk produk-produknya atas anjuran pemerintah. Para ahli beranggapan, bayi yang sudah biasa 'dicekoki' garam, akan meningkatkan kebutuhannya akan garam setelah dewasa nanti. Sebab, lidahnya sudah terlanjur ketagihan garam. Pemkaian garam secara umum melonjak setelah Perang Dunia II. Semakin populernya makanan olahan dan makin meningkatnya kebiasaan makan di luar rumah, ikut menaikkan penggunaan garam pada makanan sehari-hari. Meski belum ada pembuktian penelitian ilmiah, secara empiris menunjukkan, penyakit hipertensi seringkali diderita oleh kalangan yang gemar garam. Lewis menegaskan, hubungan antara garam dengan hipertensi, sama pastinya dengan hubungan kolesterol dengan penyakit jantung.
![]() |
Image Source: http://blogs.davita.com/ |
Garam dapur tak lain apa yang dikenal Natrium klorida atau NaCI. Zat inilah yang menjadi biang persoalan. Unsur natrium, amat dibutuhkan tubuh karena ikut berperan untuk 'menukar' zat makanan lama dengan zata makanan baru. Lancar tidaknya pertukaran sisa makanan di dalam tubuh, tergantung pada kabar natrium di dalam sel. Natrium beredar ke seluruh tubuh mengikuti aliran darah. Butir-butir dara berfungsi sebagai sarana angkutannya. Butir-butir darah ini tidak menghendaki kekurangan maupun kelebihan natrium. Bila kekurangan, butir darah merah akan mengempis. Sebaliknya, bila kelebihan, butir darah merah akan mengembang dan merobek pembuluh darah. Ibarat ban yang lebihan angin, sehingga menyebabkan pecah.
Tidak hanya itu, kelbihan garam di dalam juga dapat menimbullkan gangguan pada sel-sel jaringan tubuh, bahkan bisa sampai mematika fungsi sel. Masalahnya, kematian sel ini akan merebet ke sel-sel sekitarnya. Memang repot, kekurangan maupun kelebihan konsumsi garam, sama-sama dapat menimbulkan permasalahan. Namun untungnya ada ginjal, yang secara otomatis mengatur 'logistik' garam di dalam tubuh. Kalau persediaan garam sangat minim, ginjal berubaya sedemikian rupa untuk menghemat penggunaan garam. Dengan upayanya yang sedemikian rupa, tubuh akan menyerap kembali garam yang hendak dibuang bersama 'sampah' dari dalam tubuh. Sebaliknya, bila garam itu berlebihan, akan dikeluarkan melalui beberapa saluran; air, seni, keringat, air mata, dan kotoran.
Orang sehat setiap hari rata-rata membuang 10-15 gram natriusklorida, yang didalmnya terdapat 515 unsur natrium. Olahragawan dan kalangan yang biasa bekerja berat sampai menguras keringat, banyak membuang garam dari tubuhnya bersama keringatnya yang bercucuran. Lain halnya dengan orang yang kurang gerak atau fungsi sebagian organ tubuhnya terganggu, ada kecenderungan garam akan menumpuk di dalam tubuh. Akibatnya, ginjal harus bekerja ekstra keras, sehingga kadang-kadang organ tersebut sampai membengkak.
Teori lain menyebutkan, garam yang berlebihan akan masuk pada sistem peredaran darah, sehingga menimbulkan peningkatkan tekanan pada dinding pembuluh darah. Jantung pun harus bekerja lebih keras memompakan darah dengan lebih kuat. Karena itu pula garam sering disebut sebagai pemicu darah tinggi. Menurut Dr. Miftah Suryadipradja dari FKUI, naiknya tekanan darah yang diakibatkan oleh pengaruh konsumsi garam, telah dibuktikan pada binatang percobaan. Masyarakat pun sebetulnya telah cukup punya bukti. Masyarakat perkotaan yang lebih kaya dan lebih sering makan enak, leboh banyak yang terkena penyakit darah tinggi dibanding dengan masyarakat pedesaan yang lebih banyak mengkonsumsi sayur-sayuran.
Ubah Kebiasaan Makan
Makanan olahan dan makanan yang diawetkan dituding sebagai makanan yang relatif kurang aman bagi kesehatan. Sebab, makanan olahan maupun makanan kalengan umunya antara lain lebih banyak dibubuhi garam. Contohnya saja, jagung yang baru dipetik hanya mengandung 1mg natrium per 100g bahan. Tetapi yang telah dibuat pop-corn melonjak menjadi hampir 300mg natrium. Jagung dalam kaleng bahkan meiliki 384mg natrium. Pada 100g tomat segar terkandung 14kg natrium, sedangkan kalau sudah menjadi sup tomat kandungan natriumnya menjadi 932mg, dan menjadi 1498mg bila tomat itu sudah menjadi saus. Kalau doyan makan ayam hasil olahan restoran, coba pertimbangkan kandungan natriumnya. Natrium pada ayam mentahhanya 60mg, tetapi kadar natrium pada ayam goreng olahan restoran fast-food bisa mencapai 2243mg. Angka itu tentu membuat bingung dan harus pikir-pikir untuk menkonsumsi ayam fast-food setiap hari.
Kurangi Konsumsi Garam
Untuk mengurangi konsumsi garam, pertama-tama singkirkan garam meja, juga botol kecap dan saus tomat dari meja makan. Bumbu-bumbu itu hanya akan membuat lebih tertarik untuk menggunakannya, padahal makan yang disajikan sudah cukup sedap dan cukup pula kandungan garamnya, bahkan mungkin lebih. Garam sudah begitu lama memperdaya manusia. Penjual bakso sudah membubuhkan garam pada masakannya. Jangan lagi ditambah kecap atau saus secara berlebihan. Juga, tak sedikit pelayan yang suka membubuhkan garam pada jus tomat yang dibuatnya. Lantas berapa banyak konsumsi garam dalam sehari?
Menurut suatu penelitian, untuk menurunkan pemakaian garam dibuthkan waktu sedikitnya enam minggu atau satu setengah bulan. Orang yang biasa makan dengan selera asin, maka air ludahnya juga asin. Akibatnya, orang itu baruakan merasakan sesuatu yang dimakannya itu asin kalau makanannya dibuat lebih asin. Lantas, apakah rasa asin pada lidah itu sudah dibawa sejak lahir? Belum pernah dibuktikan secara ilmiah. Tapi yang jelas, kebutuhan terhadap rasa asin itu merupakan suatu kebiasaan yang telah berlaku lama.
Untuk bisa menekan penggunaan garam, biasanya harus dapat melatih diri untuk mengenali jenis penyedap lain seperti gula, cuka, bawang, cabai, jeruk nipis, dan lainnya. Rasa pedas dari cabai atau rasa asam dari jeruk nipis, dapat berfungsi sebagai penyedap, dan ikut mempengaruhi mengurangi penggunaan garam. Garam memang bagaikan pisau bermata dua. Di satu sisi dibutuhakn untuk membantu proses metabolisme tubuh dan membangkitkan minat makan, sementara di sisi lain bisa berubah menjadi musuh yang sangat menakutkan bagi kesehatan. Rasa garam memang membuat makanan menjadi begitu sedap. Namum kalau hal ini bisa membuat diri menderita, apalah artinya. Karena itu, jangan lengah dalam menggunakan garam.